Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi
dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan
ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di
dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai
sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi
dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil
terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam
kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu
(ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui
serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460
panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14
seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta
mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles,
yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan
dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga
1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
Nama Borobudur
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi
juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.
Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.
Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya
bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur,
kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut
desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi
memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan
istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam
prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula
yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan
leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Lingkungan sekitar
Terletak sekitar 40 kilometre (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu
adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung
sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[16]
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan
ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan
candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.
Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng
penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar
langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak
ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan
mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang
ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini
(Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam
hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat
dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan
suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah
dilakukan, belum diketahui secara pasti.[12]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan
beberapa peninggalan purbakala lainnya, di antaranya berbagai temuan
tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar
Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala
di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha.
Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak
mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon
diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Danau purba
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar,
Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari
permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar danau purba yang telah
mengering.[18]
Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di
kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa
Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931,
seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.[13] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana
(lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai
lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga
teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang
kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana
(aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran
melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga
teratai.[18]
Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis
ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar
monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa
kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah
daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp
dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs
ini.[19] Sebuah penelitian stratigrafi,
sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000
mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,[18]
yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba
ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan
bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan
menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan
aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut mengubah bentang alam dan
topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau nya. Salah satu
gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[20]
Sejarah
Pembangunan
merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.[21]
Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.[21] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[22] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun
lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[23][24]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di
Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui
sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi
melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[23] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.[25] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan,
meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M,
dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi
Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.[26] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[26]
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa
kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik,
dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan
mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[27]
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada
masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya
yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko. Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik
wangsa Syailendra,
akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa
raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki
candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar
stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu
stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan
pembangunan Borobudur:
- Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
- Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
- Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
- Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Borobudur tersembunyi dan telantar selama berabad-abad terkubur di
bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan
semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit.
Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih
belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci
ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan
1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur
setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan
apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan
tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai
ditinggalkan pada periode ini.[6][18] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit.
Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976)
juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar
ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada
abad ke-15.[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat
Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan
dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[6] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[30] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan
(arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah
kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari
kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan
bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan
dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau
kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan
mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah
situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah
menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.
Penemuan kembali
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa di bawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak
antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan
kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat
setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya
di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.[30]
Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak
dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C.
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan
bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya
menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan
membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman
longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia
melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai
gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan
beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen
ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah
hilang ini.[11]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan
Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian
bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan
atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan
arca buddha besar di stupa utama.[31]
Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia
temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah Hindia Belanda
menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik,
ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G.
Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas
monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana
menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi
sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans,
yang mengkompilasi monografi
berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama
dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan
edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.[31] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[32]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup
lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh
arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan
dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di
Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha
Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan
museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak
budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya
dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian
dan pencurian yang marak di monumen.[32]
Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk
menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi
aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini
berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak
dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan
ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs
bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada
tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda
(kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian
dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan
delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang
diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30
batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala,
tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala
yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut
Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[33]
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[34] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[35]
Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil
langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk
komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini:
Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang
juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli
konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana
pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak
harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan,
memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat
pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan
stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki
sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua
batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan
hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa
utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir
sekitar 48.800 Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[36]
Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp
membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di
bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat
diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran
tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih
lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan
pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan
tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli
dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan
perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan
masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan
relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[36]
Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam
alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan
dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi
lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia
telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk
pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana
induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[37] Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[36]
Pondasi diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan.
Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur
sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke
dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek
kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan
menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[38] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[3]
Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya
kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu
wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi,
seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan
(vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau
tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan
karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang
luar biasa".[3]
Peristiwa kontemporer
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[37]
Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha.
Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat
Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia[39]
dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan
ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi
berakhir di Candi Borobudur.[40]
Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[41]
Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra,
Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan
sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an,
termasuk serangan atas Candi Borobudur.[42]
Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun
penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun
penjara.
Monumen ini adalah objek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi
di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 di
antaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[8]
Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya
(80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia 1997.[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[8]
Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur
menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana
pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga
yang disebut 'Java World'.[43]
Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor
pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar
Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali
malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata
asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya
lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks
candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin
pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks
candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir
selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan
korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.[44]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak
peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan
Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan
negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand,
Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur.
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa,
musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan
Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali
dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang
biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya
pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung;
(ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan
pengembalian bagian-bagian yang hilang.[45]
Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat
menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling
parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk,
tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur
bangunan.[45]
Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang
kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan
peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan
melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan
dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas
merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah
wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan
harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.[45]
Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi
pada Oktober dan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi
kompleks candi yang berjarak 28 kilometre (17 mil) arah barat-barat daya
dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 25
sentimetre (10 in)[46]
menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga
mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu
vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan
bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk
membersihkan luruhan debu.[47][48]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO
telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya
rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan
menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan
penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan
terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
setempat.[49]
Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki
sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik
bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari
perkiraan semula.[50]
Arsitektur
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha
Indonesia, sebagai contoh puncak pencapaian keselarasan teknik
arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami
gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak
atau piramida bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah
Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan
perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]
Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos
atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran
Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[51] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan
menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 metre (404 ft)
pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras
terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk
lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[34] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[52]
Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri.
Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran
monumen.[52] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.[34]
Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki
tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan
keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama
atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan
batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian
kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga
yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut
tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief
pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki
asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu.
Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan
1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212
panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas.
Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau
relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432
arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di
pagar langkan.[5]
Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang
melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu;
pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat
pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya
akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak
berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang
tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai
stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa).
Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah
ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya
berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar
patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan
cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni
arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan
polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan
patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa
utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada
zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang
dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan
tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana
jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta
terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[53]
Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan
disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego
yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan
tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk
"ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi
setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase
yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk
mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut,
masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini
tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan
tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat.
Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida
berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur
mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[53] Stupa
memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha.
Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan
kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah
ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan
tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan
perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.[54]
Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan
berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan
cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai
tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh,
tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu
panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung
dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari
kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[55]
Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar
individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada
1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen
ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat
dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[55][56]
Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[54]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[54] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 metre (13 ft).[53]
Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin
mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 metre (23 ft) dari ujung
dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 metre (6.6 ft), menyisakan
lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras
melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang
disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah;
dengan pucuk mencapai ketinggian 35 metre (115 ft) dari permukaan
tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang
kini dilepas adalah 42 metre (138 ft) . Tangga terletak pada bagian
tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian
puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32
arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara
yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam
arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur,
sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus
tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi
dengan dataran di sekitarnya.
Relief
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras
Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat
teliti dan halus.[57]
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang
ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah,
bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian
dunia Buddha.[58]
Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu.
Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan, bidadari
atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti
tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh
tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau
sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya
dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan
keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan
sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[59]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia
baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan,
serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara.
Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa
lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati
dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung,
istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka
tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para
peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur.[60]
Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari
purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur
tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[61]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah
kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata
bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan
menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun
sisi-sisi lainnya serupa benar.
0 komentar:
Post a Comment