Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan
hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan
Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan
hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu. Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi
dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu
kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu @ Abu Yazid
....... bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci
hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari
kenabian tidak dapat kubayangkan (Nabi Muhammad Saw). @ Abu
Yazid
Syaikh Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Sarusyan al-Busthami lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Beliau adalah
salah seorang Sulthanul Awliya, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada dalam
silsilah tarekat
Naqsyabandiyah, tarekat
Sadziliyah, dan beberapa tarekat lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam
kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb:" ...bahwa mulai Abu Bakar
Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiyah."
Kakek Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster.
Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan
Syaikh Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan.
"Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya",
ibunya sering berkata pada Abu Yazid, "Engkau yang masih berada di
dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan
kembali." Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid
mempelajari Al Qur'an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari
surat Lukman yang berbunyi, "Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua
orang tuamu." Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia meletakkan
batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, "Ijinkanlah aku untuk pulang,
ada yang hendak kukatakan pada ibuku."
Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya
menyambutnya dengan kata-kata, "Thoifur, mengapa engkau sudah
pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian
istimewa?" "Tidak", jawab Abu Yazid, "Pelajaranku
sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan
kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan.
Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada
Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah
semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata." "Anakku",
jawab ibunya, "Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau
dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah."
Di kemudian hari Abu Yazid berkata, "Kewajiban yang semula kukira
sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lainnya,
ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti
kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu
yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan
disiplin diri dan pengabdian kepada Allah."
Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya,
ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi
itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi ke sungai lalu mengisi kendi tersebut
dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur. Malam itu udara
terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia
meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah
olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku."Mengapa engkau
tetap memegang kendi itu?" ibuku bertanya.
"Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena", jawabku.
Kemudian ibu berkata kepadaku, "Biarkan saja pintu itu setengah terbuka."
"Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan
setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya
fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali."
Setelah si ibu memasrahkan anaknya pada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham,
merantau dari satu negeri ke negeri lain selama 30 tahun, dan melakukan
disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat
sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru
spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka
berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu
Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya, "Abu
Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.""Jendela? Jendela yang mana?", tanya Abu Yazid.
"Telah sekian lama engkau belajar disini dan tidak pernah melihat
jendela itu?"
"Tidak", jawab Abu Yazid, "Apakah peduliku dengan
jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak
datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini." "Jika
demikian", kata sang guru," kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu
telah selesai."
Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari
jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid
menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah
(diartikan menghina kota Mekkah), karena itu segera ia memutar langkahnya.
Abu Yazid berkata mengenai guru tadi, "Jika ia memang telah memperoleh
semua kemajuan itu dari jalan Allah, niscaya ia tidak akan melanggar hukum
seperti yang dilakukannya." Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya
berjarak empat puluh langkah dari sebuah mesjid, ia tidak pernah meludah ke
arah jalan dan menghormati masjid itu.
Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, sesaat lamanya ia akan
berdiri terpaku dan menangis.
"Mengapa engkau selalu berlaku demikian?" tanya salah seseorang
kepadanya. "Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid.
Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid", jawabnya.
Perjalanan Abu Yazid menuju Ka'bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini
karena setiap kali ia bersua dengan seorang pengkhotbah yang memberikan
pengajaran di dalam perjalanan itu, Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya
dan melakukan sholat sunnah dua raka'at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan:
"Ka'bah bukanlah serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat
dikunjungi orang setiap saat."
Akhirnya sampailah ia ke Ka'bah, tetapi ia tidak pergi ke Madinah pada tahun
itu juga. Abu Yazid menjelaskan, "Tidaklah pantas berkunjung ke Madinah
hanya sebagai pelengkap saja, saya akan mengenakan pakaian haji yang berbeda
untuk mengunjungi Madinah."
Tahun berikutnya ia kembali menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakaian yang
berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di
sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi
muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya.
"Siapakah orang-orang ini?", ia bertanya sambil melihat
kebelakang.
"Mereka ingin berjalan bersamamu", terdengar sebuah jawaban. "Ya
Allah!", Abu Yazid memohon, "Janganlah Engkau tutup penglihatan
hamba-hamba-Mu karenaku."Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada
dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah
selesai melakukan sholat shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka, "Ana Allah
,Laa ilaha illa ana, Fa'budni." Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tidak ada
Tuhan melainkan Aku, maka Sembahlah Aku."
"Abu Yazid sudah gila!", seru mereka kemudian meninggalkannya.
Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah
tengkorak manusia yang bertuliskan "Tuli, bisu, buta.. mereka tidak
memahami." Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu
menciuminya. "Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi",
gumamnya, "Yang menjadi tauhid di dalam Allah... ia tidak lagi
mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk
memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran
Allah, dan tak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenung secuil pengetahuan
Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya."
Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai
tunggangan dan pemikul perbekalannya. "Binatang yang malang, betapa berat
beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!", seseorang berseru.
Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, "Wahai
anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban." Kemudian si
pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung onta
tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal
di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut.
"Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!", seru si pemuda.
"Jika kusembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai
diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku", kata Abu Yazid
kepadanya. "Tetapi jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu,
engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?"
#MI'RAJ
Abu Yazid mengisahkan, "Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah
setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluq-Nya, menerangi diriku dengan
Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan
kebesaran-Nya kepadaku."
Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia
serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan
Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan
kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika
dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di
dalam diriku segalanya kotor dan cemar.
Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah.
Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya.
Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah
terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata
keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari
diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti
kepada-Nya. Aku bertanya, "Ya Allah, apakah ini?"
Dia menjawab, "Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali
Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud-Ku." Kemudian Ia
menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk
merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari
kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia
diri-Nya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikianlah
Allah, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui
Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitasNya."
Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya. Kututup
telinga dari derap perjuangan. lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam
tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan
kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana
aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang
kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.
Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi
dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya
sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah
kebajikan itu aku berkata-kata kepada Allah, dengan pengetahuan Allah kuperoleh
sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya.
Allah berkata kepadaku, "Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua
namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah
memiliki kekayaan."
"Ya Alloh.. Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan
biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih
baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku
sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui
Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau."
Allah berkata, "Oleh karena itu perhatikanlah hukum-Ku dan janganlah
engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar Kami berterima kasih akan
segala jerih payahmu."
"Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa
sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri
dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau
bebas dari segala perbuatan aniaya."
"Dari siapakah engkau belajar?", tanya Allah. "Ia Yang
Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya", jawabku, "Karena Ia
adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab,
Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya."
Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan
puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasan-Nya. Dia menerangi
diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani.
Aku tahu bahwa melalui Dia lah aku hidup dan karena kelimpahan-Nya lah aku bisa
menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.
"Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki",
kata Alloh. "Engkaulah yang kuinginkan", jawabku, "Karena
Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di
dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan
kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan
janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau."
Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan
hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia, "Kebenaranlah yang engkau
ucapkan dan realitaslah yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan
mendengarkan kebenaran." "Jika aku telah melihat",
kataku pula, "Melalui Engkau-lah aku melihat, dan jika aku telah
mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku
mendengar."
Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepadaNya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku
sayap keagungan, sehingga aku dapat melayang-layang memandangi alam
kebesaranNya dan hal-hal menakjubkan dari ciptaanNya. Karena mengetahui
kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan
perhiasan-perhiasanNya sendiri.
Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana
ketauhidan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku tauhid ke dalam
sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku sebuah nama dari hadirat-Nya sendiri
dan berkata-kata kepadaku dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah Tauhid Dzat
dan punahlah perpisahan.
"Kepuasan Kami adalah kepuasanmu", kata-Nya, "Dan
kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan
tak seorang pun akan menghukummu karena ke-aku-anmu."
Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu, dan setelah itu
Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam
keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya, "Siapakah yang memiliki
kerajaan ini."
"Engkau", jawabku.
"Siapakah yang memiliki kekuasaan?"
"Engkau", jawabku.
"Siapakah yang memiliki kehendak?"
"Engkau", jawabku.
Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal
penciptaan, maka ditunjukkan-Nya kepadaku betapa jika bukan karena belas
kasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena
cinta-Nya segala sesuatu telah dibinasakan oleh ke-Maha Perkasaan-Nya. Dia
memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha Memaksa, dan
segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.
Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam
setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda pemburuan di dalam hutan
belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada
kepapaan dan tidak ada yang lebih baik dari ketidakberdayaan (fana, red).
Tiada pelita yang lebih terang
daripada keheningan dan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Dan
tiada pula gerak yang lebih sempurna daripada diam. Aku menghuni istana
keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat
sampai ke akar-akarnya. Dia melihat betapa jasmani dan ruhaniku bersih dari
kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang
kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan.
Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan
nur ilahi, dan mata yang ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku
berbicara dan dengan kekuasaan-Nya lah aku memegang. Karena melalui Dia aku
hidup, karena Dia lah Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi, maka aku tidak
akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku
adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah
tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan, ruh Islam. Aku tidak berbicara
mengenai diriku sendiri sebagai seorang pemberi peringatan. Dia lah yang
menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya, sedang aku hanyalah seseorang
yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.
Setelah memuliakan diriku Dia berkata, "Hamba-hamba-Ku ingin bertemu
denganmu." "Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka",
jawabku. "Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka
aku tidak akan menentang kehendak-Mu. Hiaslah diriku dengan ke-esaan-Mu,
sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah
ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku
ini."
Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas
kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku.
Setelah itu Dia berkata, "temuilah hamba-hamba-Ku itu." Akupun
berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya. Tetapi pada langkah yang kedua aku
jatuh terjerumus. Terdengarlah seruan, "Bawalah kembali kekasih-Ku kemari.
Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalanpun yang diketahuinya
kecuali jalan yang menuju Aku."
Setelah aku mencapai taraf tauhid Dzat - itulah saat pertama aku menatap Yang
Esa - bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki
bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal
dari ke-esa-an dan dengan sayap keabadian. Terus menerus aku melayang-layang di
angkasa kemutlakan. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya,
akupun berkata, "Aku telah sampai kepada Sang Pencipta. Aku telah
kembali kepada-Nya."
Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah
kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang
zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam sifat-Nya
yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan perbuatan-Nya, dan selama
tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan Dzat-Nya. Setelah berakhir masa sembilan
puluh ribu tahun, terlihat olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku
adalah aku sendiri.
Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai di akhir penjelajahan
itu terlihat olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian.
Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi
itu untuk beberapa lama, aku katakan, "Tidak ada seorang manusia pun
yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai
ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini."
Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak
kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai
oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian.
Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan.
Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan
neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat
menghadang dan membuatnya peduli?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya
tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi
Muhammad Saw, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi
dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang
pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung
sehingga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak
berani memandang tiang perkemahan Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa
dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad.
Kemudian Abu Yazid berkata, "Ya Allah, segala sesuatu yang telah
terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu
selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang
harus kulakukan?" Maka terdengarlah perintah, "Untuk melepas
keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad, si orang Arab. Usaplah matamu
dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya”.
Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan
diriku ke dalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad. Dan kemudian tak
kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad. Aku terdampar dan kulihat Abu
Yazid berkata, "Aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti
jejak Muhammad.
# ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU'ADZ
Yahya bin Mu'adz - salah seorang tokoh sufi, waliyullah jaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid, "Apakah katamu
mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada
henti-hentinya?"
"Aku tidak tahu. Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang
sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih
merasa haus dan dahaga.", jawab Abu Yazid.
Yahya bin Mu'adz menyurati lagi, "Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan
kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah
naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu."
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan, "Syaikh
harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zam-zam."
Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak
disampaikan Yahya itu, "Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan,
dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan
pohon Tuba, tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau
memang telah mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau
tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan."
Maka Yahya bin Mu'adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu
sholat Isya'. Yahya berkisah sebagai berikut, "Aku tidak mau mengganggu
Syaikh Abu Yazid”. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka
pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat
itu seperti dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat
olehku Abu Yazid sedang sholat Isya'. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari
kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini.
Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berkata di dalam do'anya, "Aku
berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan
ini."
Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah
yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab, "Lebih dari
dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satupun yang
kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan
mata."
"Guru, mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah
Dia Raja diantara raja yang pernah berkata, "Mintalah kepada-Ku segala
sesuatu yang engkau kehendaki?", Yahya bertanya. "Diamlah!",
sela Abu Yazid, "Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah
mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal
diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku. Sesungguhnya seperti
itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal
diri-Nya. Yahya bermohon, "Demi keagungan Allah. Berikanlah kepadaku
sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi."
"Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril,
kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan
kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan
hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu. Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi
dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu
kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu",
jawab Abu Yazid.
Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang
sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor
anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan kepada binatang
itu.
Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata, "Allah
Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya.
Abu Yazid adalah "Raja diantara kaum mistik", tetapi dengan
ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan
kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?"
Abu Yazid menjawab, "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah
berkata kepadaku, 'Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian
sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan
sebagai raja diantara para mistik?'. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan
karena itulah aku memberi jalan kepadanya."
Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan menuju Ka'bah di Makkah, tetapi
beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi. "Di waktu yang sudah-sudah
engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat
demikian?", tanya seseorang kepada Abu Yazid.
"Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan, terlihat olehku seorang
hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata, 'Jika engkau kembali,
selamat dan sejahteralah engkau. Jika tidak, akan kutebas kepalamu. Engkau
telah meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumah-Nya'", jawab
Abu Yazid.
Hatim Tuli - salah seorang waliyullah masa itu - berkata kepada murid-muridnya,
"Barangsiapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk
neraka di hari berbangkit nanti, ia bukan muridku."
Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid, kemudian Abu Yazid
menambahkan, "Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap
setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarnya ke surga
lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, ia adalah muridku."
#ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA
Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia
mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan
ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau.
Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, "Pada hari ini genaplah
tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do'a sepanjang malam
sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini
belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan
itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu."
"Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun,
sedikitpun dari ceramah-ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati."
"Mengapa demikian?", tanya si murid.
"Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri", jawab Abu Yazid.
"Apakah yang harus kulakukan?", tanya si murid pula.
"Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya", jawab
Abu Yazid.
"Akan kuterima!. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang
engkau petuahkan."
"Baiklah!", jawab Abu Yazid. "Sekarang ini juga,
cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan
ini dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan
sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan
anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka, "Akan kuberikan
sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku." Dengan
cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana
orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan."
"Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah", cetus si murid
setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu."Jika seorang kafir
mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim", kata Abu
Yazid. "Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah
mempersekutukan Allah.""Mengapa begitu?", tanya si murid.
"Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti
yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk
menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan
Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah?".
"Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang
lain", si murid keberatan."Hanya itu yang dapat
kusarankan", Abu Yazid menegaskan."Aku tak sanggup
melaksanakannya", si murid mengulangi kata-katanya."Bukankah
telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan
engkau tidak akan menuruti kata-kataku", kata Abu Yazid.
"Engkau dapat berjalan di atas air", orang-orang berkata
kepada Abu Yazid. "Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu",
jawab Abu Yazid."Engkau dapat terbang di angkasa". "Seekor
burung pun dapat melakukan itu."
"Engkau dapat pergi ke Ka'bah dalam satu malam." "Setiap
orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu
malam."
"Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia
sejati?", mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, "Seorang
manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapapun dan apapun kecuali
kepada Allah."
Abu Yazid ditanya orang, "Bagaimanakah engkau mencapai tingkat
kesalehan yang seperti ini?"
"Pada suatu malam ketika aku masih kecil, aku keluar dari kota Bustham.
Bulan bersinar terang dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba kulihat suatu
kehadiran. Di sisinya ada delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai
sebuah debu belaka. Hatiku bergetar kencang lalu aku hanyut dilanda gelombang
ekstase yang dahsyat. Aku berseru "Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian
besarnya tapi sedemikian kosongnya. Hasil karya yang sedemikian agung tapi
begitu sepi?" Lalu terdengar olehku sebuah jawaban dari langit,
"Istana ini kosong bukan karena tak seorang pun memasukinya tetapi Kami
tidak memperkenankan setiap orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang
tak mencuci muka-pun yang pantas menghuni istana ini.", jawab Abu
Yazid.
"Maka aku lalu bertekat untuk mendo'akan semua manusia. Kemudian
terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi penengah manusia adalah Nabi
Muhammad Saw. Oleh karena itu aku hanya memperhatikan tingkah lakuku
sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang menyeruku, "Karena engkau
berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka Aku muliakan namamu sampai
hari berbangkit nanti dan umat manusia akan menyebutmu.”
#
Abu Yazid menyatakan, "Sewaktu pertama kali memasuki Rumah Suci
(Ka'bah), yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu. Ketika untuk kedua kalinya
memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi
ketika untuk ketiga kalinya memasuki Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah
Suci itu sendiri tidak terlihat olehku."
Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap
hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20
tahun, ia akan bertanya, "Anakku, siapakah namamu?" Suatu
ketika si murid berkata pada Abu Yazid, "Guru, apakah engkau
memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari
engkau menanyakan namaku."
"Anakku.. Aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah
memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku
mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku",
Abu Yazid menjawab.
Abu Yazid mengisahkan:
Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku
bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu
terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku
lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan
bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang
untuk membukakan diriku.
Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke empat
kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang
ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku
tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti
lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu
memandangiku.
"Sejauh ini engkau memanggilku", katanya,"Hanya untuk
membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk
menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?"
Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu, "Dari
manakah engkau datang?" "Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu
mil yang kutempuh", kemudian ia menambahkan, "Berhati-hatilah
Abu Yazid, Jagalah hatimu!"Setelah berkata demikian ia berpaling
dariku dan meninggalkan tempat itu.
# MASA AKHIR
Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Allah ke
hadhirat-Nya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Allah itu, Abu Yazid
mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula.
Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah
ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya
secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Allah: "Ya Allah, aku tidak
membanggakan disiplin diri yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak
membanggakan shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak
menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan
telah berapa kali aku menamatkan Al Qur'an. Aku tidak akan mengatakan
pengalaman-pengalaman spiritual khususku yang telah kualami, do'a- do'a yang
telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkau pun
mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu.
Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya.
Semua ini kukatakan kepada-Mu karena aku malu atas segala perbuatanku itu.
Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri.
Semuanya tidak berarti, anggaplah itu tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang
Torkoman yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di
dalam kejahilan.
Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru, 'Tangri-Tangri' Baru sekarang
inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat
melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat
menggerakkan lidahku untuk mengucapkan syahadat. Segala sesuatu yang Engkau
perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima umat manusia karena kepatuhan
mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka.
Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang
tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari
dalam diriku karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku
telah mematuhi-Mu.
Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah
pada tahun 261 H /874 M.
(Terlintas dalam benakku ingin sekali aku mengucapkan, “semoga Allah selalu
meridhoi engkau dan menempatkan engkau ditempat yang engkau inginkan” tapi
sipalah aku guru)